![]() |
Nirda Julianda, S,PD, MM Dosen Prodi Manajemen Universitas Royal |
Ketika dunia bergerak semakin cepat karena teknologi, cara negara mengumpulkan dan mengelola penerimaannya juga dituntut untuk berubah. Kini, segala hal serba digital, belanja, bekerja, bahkan bertransaksi keuangan terjadi dalam hitungan detik tanpa batas ruang. Di tengah perubahan besar ini, muncul pertanyaan penting: apakah sistem penerimaan negara Indonesia sudah cukup adaptif untuk menjawab tantangan zaman?
Penerimaan negara adalah tulang punggung pembangunan nasional. Bahkan hal tersebut menjadi sumber utama dalam pembiayaan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan berbagai layanan publik lainnya. Namun dalam era digital yang penuh dinamika, sistem lama tidak lagi cukup. Diperlukan cara baru yang lebih cerdas, inklusif, dan berkelanjutan agar penerimaan negara tetap relevan dan kuat.
Menjawab Tantangan Ekonomi Digital
Salah satu perubahan paling nyata di era ini adalah munculnya ekonomi digital. Transaksi jual-beli tidak lagi hanya terjadi di pasar tradisional atau toko fisik, kini hal tersebut juga terjadi di marketplace, media sosial, dan aplikasi yang bahkan tidak berbasis di Indonesia. Model bisnis pun ikut bergeser. Orang bisa berpenghasilan dari konten, afiliasi, hingga jualan digital product tanpa toko atau kantor.
Pertanyaannya, apakah sistem penerimaan negara bisa mengimbangi perubahan ini? Jangan sampai sektor yang pertumbuhannya sangat cepat ini justru tidak berperan banyak dalam penerimaan negara. Disinilah peran dari teknologi digital itu sangat penting, baik untuk memetakan potensi, memantau kegiatan ekonomi, maupun dalam merancang regulasi yang adaptif. Negara harus ikut hadir sebagai fasilitator dan pengatur yang fleksibel, namun tetap tegas dalam menegakkan keadilan fiscal penerimaan negara.
Teknologi hadir sebagai Solusi, Bukan Sekadar Alat
Penggunaan Core Tax Administration System, hingga penggunaan NIK sebagai NPWP sudah mulai diterapkan. Tapi teknologi akan menjadi efektif bila diiringi perubahan budaya kerja dan kemauan politik. Digitalisasi bukan hanya soal mengganti kertas dengan layar, tetapi mengubah cara berpikir dalam melayani dan mengawasi. Transparansi dan efisiensi bisa dicapai jika sistem digital dibangun secara terbuka dan terintegrasi.
Dengan dukungan big data dan artificial intelligence, DJP (Direktorat Jenderal Pajak) kini dapat menganalisis transaksi digital, mendeteksi potensi pajak yang belum terdeteksi secara manual, serta meningkatkan kepatuhan wajib pajak tanpa perlu menaikkan tarif. Bahkan, gaya hidup konsumen dan aktivitas ekonomi daring lainnya kini bisa menjadi indikator baru dalam pemetaan penerimaan pajak.
Bagi masyarakat, sistem daring ini memberi kemudahan. Mereka tidak perlu lagi mengisi formulir berlembar-lembar bahkan datang ke kantor pajak yang bisa jadi sangat jauh dari rumah. Semua dapat dilakukan secara daring bahkan menggunakan ponsel pribadi hanya dari rumah. Bagi negara, ini cara membangun kepercayaan publik melalui pelayanan yang efesien dan profesional juga transparansi.
Literasi Fiskal dan Keadilan sebagai Kunci keberhasilan
Kehidupan kita sehari hari tidak bisa dipisahkan dari dunia teknologi digital. Dimana kita belajar, bekerja, belanja, dan membayar menggunakan perangkat digital. Tetapi literasi fiskal di kalangan masyarakat umum masih sangat rendah. Banyak masyarakat yang masih beranggapan bahwa keberadaan pajak sebagai beban, bukan tanggung jawab bersama. Akibatnya, kepatuhan yang dilaksanakan sering bersifat terpaksa, bukan kesadaran dari diri sendiri. Negara perlu menanamkan kesadaran masyarakat sejak dini bahwa kontribusi terhadap penerimaan negara adalah bentuk gotong royong modern. Edukasi publik yang ringan, berkelanjutan, dan menggunakan bahasa kekinian harus jadi agenda bersama. Beriringan dengan hal tersebut, pemerintah juga harus lebih transparan dan akuntabel dalam penggunaan dana publik, agar kepercayaan masyarakat tumbuh secara alami. Sangat penting juga untuk memastikan bahwa sistem penerimaan negara yang berjalan harus bersifat adil dan tidak memberatkan kelompok tertentu.
Kesimpulan
Masa depan penerimaan pajak Indonesia sangat bergantung pada sejauh mana kita dapat memanfaatkan era digital ini secara cerdas. Digitalisasi adalah peluang besar dalam menciptakan sistem yang lebih efisien, transparan, dan adil.
Di Era Digital, penerimaan negara tidak lagi sekadar berasal dari sektor konvensional. E-commerce, ekonomi digital, aset virtual, dan kerja lepas lintas negara akan menjadi sumber baru yang signifikan. Sistem fiskal Indonesia harus siap mengelola ini semua dengan cermat dan cerdas. Digitalisasi penerimaan negara bukan sekadar wacana berkepanjangan. tapi ini adalah upaya membangun kedaulatan fiskal Indonesia di era digital. Kita tidak hanya membangun sistem perpajakan secara daring semata, tapi mempersiapkan Masa Depan Penerimaan Negara dan Menjawab Tantangan Era Digital. Masa depan penerimaan negara adalah masa depan kita semua. Dan masa depan itu dimulai hari ini dengan data, teknologi, dan kolaborasi.
Harapan kita adalah melihat sistem penerimaan negara yang tidak hanya handal secara teknis, tetapi juga manusiawi yang memahami realitas sosial dan ekonomi yang berkembang di masyarakat. Baik pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat harus beriringan. Sebab membangun masa depan negara bukan tugas satu pada pihak saja, melainkan tugas bersama yang harus kita jalankan secara kebersamaan.
Penulis : Nirda Julianda