Penertiban Barak Liar di Lahan PT BSP, Perusahaan Tegaskan HGU Sah

 

Foto: Petugas saat menertibkan plank yang dibangun penggarap di lahan HGU. 

Kerangsatu.com, Asahan – Ketegangan sempat pecah di kawasan perkebunan PT Bakrie Sumatera Plantations (BSP) Estate Kuala Piasa, Desa Piasa Ulu, Kecamatan Tinggi Raja, Kabupaten Asahan, Jumat (17/10/2025). Puluhan petugas keamanan perusahaan menertibkan barak-barak liar yang didirikan kelompok masyarakat penggarap di atas lahan Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan tersebut.

Aksi penertiban itu tidak berjalan mulus. Sejumlah warga yang mengaku sebagai ahli waris tanah menolak pembongkaran dan berusaha menghadang petugas. Adu mulut hingga saling dorong sempat terjadi di lokasi. Namun setelah situasi memanas beberapa saat, masyarakat akhirnya mundur dan pasrah saat petugas membongkar bangunan semi permanen yang mereka dirikan.

Menurut Area Manager PT BSP Kisaran, Raju Wardhana, tindakan tegas itu diambil karena aktivitas para penggarap sudah mengganggu jalannya operasional perusahaan. Ia mengatakan, selama lebih dari satu bulan terakhir, kegiatan panen sawit terganggu akibat blokade jalan yang dilakukan warga.

“Sudah empat kali jadwal panen tertunda. Pekerja kami tidak bisa bekerja dan perusahaan mengalami kerugian ratusan juta rupiah. Karena itu kami harus melakukan penertiban agar aktivitas kebun bisa kembali normal,” tegas Raju.

Hal senada disampaikan Manager HV & Comdev PT BSP, Yudha Andriko, yang menilai tindakan kelompok penggarap sudah melewati batas.

“Mereka bukan hanya mendirikan barak, tetapi juga memasang pagar blokade dan melarang pekerja kami masuk ke area kebun. Padahal ini lahan resmi perusahaan yang memiliki dasar hukum jelas,” ujarnya.

Yudha juga menampik tudingan bahwa HGU PT BSP telah berakhir atau perusahaan memiliki tunggakan pajak hingga Rp150 miliar.

“Informasi itu tidak benar. HGU kami masih sah dan proses pembaruan sudah berjalan di Kementerian ATR/BPN sejak 2020 sesuai prosedur hukum yang berlaku,” tegasnya.

Ia menambahkan, klaim masyarakat yang menyebut memiliki SKT Nomor 37 Tahun 1934 tidak memiliki kekuatan hukum tetap. Menurutnya, PT BSP adalah pemegang hak sah atas lahan tersebut berdasarkan keputusan pemerintah.

Namun di sisi lain, kelompok masyarakat yang mengaku ahli waris tetap bersikukuh mempertahankan lahan sekitar 300 hektare itu. Mereka mengklaim memiliki dokumen dan bukti pembayaran pajak yang menunjukkan kepemilikan secara turun-temurun.

“Kami tidak akan meninggalkan lahan ini. Ini tanah nenek moyang kami, lengkap dengan surat dan bukti pajak. Kami juga sudah didampingi pengacara,” ujar Mawardi Manurung, perwakilan warga.

Meski situasi akhirnya dapat dikendalikan, ketegangan masih terasa di sekitar lokasi pasca-penertiban. Petugas keamanan kebun kini berjaga untuk mencegah pembangunan ulang barak oleh kelompok penggarap.

Penulis : Indra.
Editor : Ramadhan.

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال